Page 61 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 61
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Wa sammaytuha hujjata l-shiddiqi li daf’i l-zindiqi. Maka kunamai akan
risalah ini: Hujjatu l-Shiddiqi li daf’i l-Zindiqi, artinya : dalil segala ‘arif
pada menolakkan i’tiqad segala zindiq. Maka kusebutkan dalam risalah
ini i’tiqad dan mazhab empat ta’ifah, yaitu: Mutakallimin dan Ahlu l-Shufi
dan Hukama’ Falasifah dan Wujudiyyah yang mulhid pada menyatakan
wujud Allah dengan ‘alam itu berlainankah atau bersuatu seperti yang
akan tersebut kenyataannya. 33
Perlu ditegaskan bahwa tidak sedikit sastra kitab ditulis dengan pola terjemahan
yang demikian, di samping terjemahan antar-baris, di mana terjemahan Bahasa
Melayu ditulis di bawah kata-kata Arab. Model ini membentuk ciri khas sistem
narasi (cara penguraian) dalam sastra kitab pada periode yang dibahas di sini.
Karya awal Syamsuddin as-Sumatrani, yang dikenal sangat produktif menulis—
meski hanya sedikit yang sampai kepada kita—juga menggunakan pola
terjemahan antar-baris. Sementara secara bahasa dia menggunakan Bahasa
Melayu Pasai seperti yang digunakan Nuruddin ar-Raniri. Pola terjemahan
tersebut bisa dilihat antara lain dalam karyanya Mir’atu l-Muhaqqiqin. Di sini, dia
menurunkan kalimat dari bahasa aslinya, Bahasa Arab, kemudian diterjemahkan Pena dan tinta yang digunakan
untuk menulis kitab atau
ke dalam Bahasa Melayu secara antar-baris. Untuk istilah-istilah tasawuf yang manuskrip mada masa lalu.
dipandang baku tetap menggunakan Bahasa Arab, tidak diterjemahkan lagi ke Sumber: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya
34
dalam Bahasa Melayu.
Hal serupa, pola terjemahan ke dalam Bahasa Melayu, selanjutnya juga terlihat
pada karya Abdul Ra’uf Singkel, yang bernama lengkap Abdul-Ra’uf bin ‘Ali
al-Jawi al-Fansuri as-Singkili. Tokoh moderat ini mengerjakan tafsir Qur’an
dalam Bahasa Melayu dengan sistem terjemahan antar-baris dan menulis
sebuah risalah berjudul Mir’at at-Tullab fi Tashi l-Ma’rifat Ahkam asy-Syar’iyyah
li l-Malik al-Wahhab (Cermin bagi Mereka yang Menuntut Ilmu Fikih pada
Memudahkan Mengenal Segala Hukum Syara’ Allah). Risalah tersebut
ditulis atas permintaan penguasa Aceh saat itu, Sultanah Tajul ‘Alam
Shafiyatuddin Syah. Abdul Ra’uf Singkel, atas bantuan saudaranya,
menulis risalah tersebut dalam Bahasa Melayu Pasai, karena dia tidak
begitu fasih lagi berBahasa Melayu setelah lama tinggal di negeri
Arab. 35
Karya-karya intelektual para ulama yang telah dijelaskan di atas
jelas menunjukkan bahwa pada abad ke-16 dan 17 Bahasa
Melayu telah berkembang sedemikian rupa sebagai bahasa yang
mapan (established) tidak hanya pada aspek sosial dan diplomasi-
politik dan perdagangan, tapi juga intelektual-keagamaan. Sastra
kitab merupakan bukti dari penggunaan Bahasa Melayu untuk bidang
yang disebut terakhir. Para ulama yang disebut di atas merasa perlu
47