Page 63 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 63
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
tahun penerjemahan naskah tersebut dengan perkiraan kehadiran Syaikh Jilani
ibn Hasan ibn Muhammad Hamid dari Ranir, paman Nuruddin ar-Raniri yang
untuk kedua kalinya datang ke Aceh pada masa memerintah Sultan ‘Alau’d-Din
Ri’ayat Syah (1588-1604).
Selain soal waktu penulisan, hal yang tidak kalah pentingnya untuk dibahas
adalah aspek kebahasaan dari terjemahan antar-baris dari naskah tersebut.
Penjelasan berikut akan menyangkut hal itu, dengan mengacu sepenuhnya pada
kajian Abdullah, yang juga merujuk pada analisis Asmar Omar. Dalam hal ini,
39
40
naskah ‘Aqa’id tersebut tampak menunjukkan evolusi perkembangan Bahasa
Melayu abad ke-16, baik dari segi ejaan Jawi, sistem morfofonemik, morfologi,
sistem tata bahasa, maupun sistem perbendaharaan kata. Ciri-ciri Bahasa Melayu
pra-klasik masih terlihat juga di sini, seperti kata ‘dipaccat’ (dipecat) dengan
tasydid /c/, ‘bertannung’ (bertenung), dan ‘lannyap’ (lenyap) dengan tanwin /n/.
Kata pungut dari Bahasa Arab ada yang diserap sebagaimana diucapkan, tetapi
ada juga yang masih dipertahankan bentuk asalnya, seperti: ‘kubur’ di samping
‘qubur’, ‘tabi’at’ disamping ‘thabi’at’.
Sistem morfofonemik memperlihatkan gejala campur aduk, sebagian masih
bercorak Bahasa Melayu pra-klasik sedangkan sebagian lainnya sudah bercorak
klasik. Misalnya, konsonan bersuara pada awal kata digugurkan seperti:
memicara, memeri (bunyi /b/ digugurkan), tetapi di samping itu terdapat
juga: membenari, membahagi. Begitu juga sistem nasal pada awalan me-
berlaku campur aduk, ada me- tanpa nasal seperti: mehalalkan, mehadapi,
mehendaki, mehabisi. Di samping itu terdapat pula me- yang diikuti nasal
seperti: menghilangkan, menghasilkan, mengharuskan.Terlihat di sini ada
aspek kebahasaan yang berlaku tidak konsisten lagi, ini menunjuk pada evolusi
perubahan dimaksud.
Dalam teks ‘Aqa’id telah terdapat sistem imbuhan yang lebih lengkap (me-, me
– kan, di-, di – kan, ke-, ke – an, ber-, ber – an, ber –kan, ber – i, pe-, pe – an,
per – an, -an, -i, ter-), awalan per- distribusinya masih kurang produktif dalam
teks ini. Semakin lengkapnya imbuhan yang terpakai dalam teks terjemahan ini,
menunjukkan bahwa nuansa makna pun semakin kaya. Imbuhan menunjukkan
tanda semakin canggihnya pengolahan kata.
Dalam ‘Aqa’id tidak terdapat kata ‘untuk’, semua dipakai ‘bagi’. Hal serupa
terlihat juga dalam banyak hikayat, seperti Hikayat Hang Tuah, Hikayat Si Miskin,
Hikayat Raja Muda. Dalam Hikayat Pandawa Lima hanya terdapat sekali: “....
sudahlah untuk kita dianugerahkan oleh dewata mulia raya akan kita.” Kata
‘untuk’ di sini berarti ‘nasib’, ‘peruntungan’. Mungkin ‘untuk’ seperti yang dipakai
sekarang datangnya dalam abad-abad kemudian. Kata ‘bagi’ mungkin sekali
sebagai terjemahan dari bahasa Arab: (li), (la), (lahu –baginya), (laku – bagimu).
49