Page 60 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 60
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
tiada tahu akan Bahasa Arab dan bahasa Farisi supaya dapat memicarakan dia”,
tulisnya pada pembukaan salah satu karyanya Syarabu l-‘Asyiqin (Minuman
Segala Orang yang Berahi). 30
Pernyataan yang sama juga terdapat dalam karya Syamsuddin as-Sumatrani,
Mir’at al-Mukmin (1601 M). Dia menulis bahwa “... karena tiada mereka itu
tahu akan Bahasa Arab dan Parsi, tetapi tiada diketahui mereka itu melainkan
Bahasa Pasai juga ...”. Begitu juga alasan yang dikemukannya serupa, ialah ia
menulis dalam Bahasa Melayu Pasai karena banyak orang tidak tahu Bahasa
Arab dan Parsi. Dengan demikian, seperti halnya Hamzah Fansuri, ada usaha
31
untuk menulis kitab dalam bahasa yang bisa dimengerti oleh pembacanya di
Aceh dan Nusantara secara umum, di mana Bahasa Melayu digunakan secara
luas.
Demikianlah, Bahasa Melayu yang digunakan Hamzah Fansuri dinilai murni,
paling tidak jauh dari pemakaian Bahasa Arab yang berlebihan. Bahasa Arab
digunakan lebih pada istilah-istilah keagamaan yang memang sulit dicari
terjemahannya dalam Bahasa Melayu. Di samping itu, aspek penting lain dari
kontribusi Hamzah Fansuri adalah kepeloporannya dalam sastra sufi Melayu,
yang memang telah diakui banyak pengamat; dia dikenal telah menggunakan
bahasa yang sangat kreatif dalam puisinya. Pemakaian kata-kata Arab memang
menonjol tetapi terintegrasi dengan baik ke dalam struktur puisinya. Istilah-
istilah tasawuf dan istilah-istilah keagamaan lain tidak saja berperan untuk
kepentingan persajakan dan irama, tapi juga telah menjadikan puisinya padat
dan membutuhkan pengetahuan tasawuf untuk dapat memahaminya dengan
baik. 32
Sementara untuk karya-karya ar-Raniri, sejauh menyangkut aspek kebahasaan
pada dasarnya tidak berbeda dari karya Hamzah Fansuri. Ar-Raniri memiliki
kemampuan yang sama dengan Hamzah Fansuri dalam hal penggunaan Bahasa
Melayu dalam karya-karya mereka. Kutipan di atas dari karyanya, Bustan as-
Salatin, membuktikan hal tersebut. Bahasa Melayu ar-Raniri juga menampakkan
tidak hanya kapasitas pengetahuannya yang sangat tinggi menyangkut doktrin
dan sejarah Islam, tapi juga pilihan kata yang juga murni Melayu, meski tetap
memakai beberapa kata Arab di dalamnya.
Hal lain yang penting mengenai karya-karya ar-Raniri adalah pengunaan
terjemahan untuk setiap kalimat yang ditulis. Karyanya yang berisi penolakan
terhadap tarekat Wujudiyah Hamzah Fansuri berjudul Hujjatus-Siddiq li daf’i
l-Zindiq, hampir merupakan terjemahan Arab–Melayu dari paragraf ke paragraf.
Fa ‘allaftu wa tarjamtu hadzihi l-risalata bi l-jawiyyati min kutubi l-shufiyyati
wa ghayrihim. Maka kuta’lifkan dan kujawikan risalah ini daripada segala
kitab ahlu l-shufi dan lain daripada mereka itu.
46