Page 513 - SKI jld 3 pengantar menteri Revisi Assalam
P. 513

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 3







           ini. Fenomena ini dirasakan, misalnya oleh M. Dawam Rahardjo, salah seorang
           pendiri P3M. Menurut Dawam,

                ”P3M didirikan sejatinya untuk melanjutkan kerja LP3ES yakni melakukan
                pemberdayaan masyarakat melalui jalur pesantren. Akan tetapi, seiring
                terjadinya NU-isasi  (belakangan P3M menjadi basis gerakan kelompok
                NU dibawah pimpinan Masdar F Masudi), P3M melupakan khittahnya.
                Mereka lebih banyak melakukan program yang sangat fiqh-oriented dan
                tidak pernah lagi memfokuskan kerja mereka pada agenda pemberdayaan
                masyarakat melalui pesantren. ” 96





           Besar kemungkinan beberapa LSM lain juga mengalami nasib serupa. Tuntutan
           zaman menyebabkan mereka harus bergulat dengan realitas. Maka alih-alih
           tampil sebagai katalis pembaruan dalam kehidupan bermasyarakat dengan
           jalan memengaruhi berbagai kebijakan pembangunan, banyak LSM yang justru
           tenggelam dalam rutinitas harian yang tidak memiliki dampak nyata kepada
           masyarakat.  Lebih jauh, banyak  LSM yang dengan percaya diri menangani
           berbagai bidang yang sejatinya bukan fokus utama lembaga. Kasusnya bisa
           dilihat dari apa yang dilakukan oleh Lakpesdam NU.

           Menurut Dr. Bisri Effendy, Peneliti LIPI yang juga aktivis Lakpesdam NU, dari segi
           orientasi gerakan Lakpesdam NU saat ini terlalu ’gegabah’ menangani semua
           program. Akibatnya, program mereka saat ini agak campur baur, karena selain
           menangani bidang kebudayaan dan agama, di waktu yang sama mereka juga
           menangani bidang ekonomi. Secara kelembagaan, pilihan Lakpesdam NU jelas
           menjadi kelemahan dan justru akan menimbulkan dampak yang kurang baik
           secara  organisasi.  Alasannya  sederhana,  sumber  daya  manusia  (SDM)  yang
           ada dan dimiliki Lakpesdam NU nyatanya tidak mampu menangani banyaknya
           program yang mereka jalankan. Alasan lain, dengan pola kerja seperti itu,
                                                                        97
           terlihat bahwa Lakpesdam NU tidak konsisten pada khittah awal.
           Kasus Lakpesdam NU besar kemungkinan dialami oleh banyak LSM lain di
           Indonesia. Dasar utama yang menyebabkan kelompok LSM melakukan hal
           tersebut adalah kenyataan bahwa mereka, dengan keterbatasan yang dimiliki,
           terkadang harus jeli melihat peluang aktivitas. Ini yang menjelaskan mengapa
           banyak LSM berani mengambil risiko menangani bidang pekerjaan yang
           sejatinya bukan fokus awal lembaga. Karena untuk bertahan, mereka jelas
           harus mengambil keputusan cepat dan secara sadar akan menanggung resiko
           dari apa yang dipilihnya. Apabila ditelisik lebih jauh, kondisi tersebut terjadi
           disebabkan karena persoalan klasik LSM yang akhirnya bermuara pada satu hal,
           ketergantungan dengan lembaga donor. Hal ini jelas perlu disorot jika hendak
           mengkaji potret terkini LSM di Indonesia.






                                                                                                 497
   508   509   510   511   512   513   514   515   516   517   518