Page 515 - SKI jld 3 pengantar menteri Revisi Assalam
P. 515
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 3
harus dilakukan bersama-sama oleh semua LSM. Namun sekali lagi, adakah niat
LSM untuk melepaskan ketergantungannya terhadap lembaga donor dalam
mengimplementasikan program-program mereka?
Pertanyaan sederhana terkait hal tersebut pernah diajukan Mansour Fakih.
Mengambil contoh kasus LSM untuk pemberdayaan perempuan, Fakih secara
tegas mempertanyakan apakah LSM-LSM yang menggulirkan isu gender itu
distimulasi oleh adanya kesadaran kritis dan tranformatif untuk mengeliminasi
diskriminasi terhadap perempuan ataukah semata-mata dipicu oleh orderan
proyek dari lembaga donor?
Pertanyaan tersebut didasarkan pada tiga periode gerakan perempuan di
Indonesia di mana periode pertama antara tahun 1975-1985, analisis gender
masih dinilai tidak penting oleh berbagai kalangan, termasuk aktivis LSM.
Periode dasawarsa kedua antara tahun 1985-1995 dikenal sebagai tahap
pengenalan dan pemahaman dasar tentang apa yang dimaksud analisis
gender dan mengapa gender menjadi masalah pembangunan. Banyak orang
menganggap masa pengenalan analisis gender tersebut terkait erat dengan
kuatnya kebijakan lembaga donor sehingga memunculkan sinisme sebagian
orang terhadap program-program pemberdayaan perempuan yang dijalankan
LSM. 106
Fakih mensinyalir bahwa penerimaan isu-isu gender di kalangan LSM lebih
merupakan formalitas belaka ketimbang kesadaran kritis karena ia menemukan
banyaknya indikasi yang mengarah ke sana. Indikasi itu misalnya, beberapa
107
LSM terjebak menjadi lembaga kantoran dan hanya sibuk berkompetisi
memenangkan sejumlah dana besar yang disediakan lembaga-lembaga
donor. Adalah kurang fair bila kita menggeneralisasi bahwa semua LSM yang
108
berkecimpung dalam isu kesetaraan perempuan semata dipicu oleh tarikan
proyek. Meski sulit dipungkiri, hal penting yang perlu ditekankan di sini adalah
bahwa lembaga donor internasional jelas memberi kontribusi penting bagi
penguatan agenda pemberdayaan perempuan.
Kasus yang menimpa gerakan pemberdayaan perempuan di atas, sangat mungkin
terjadi juga pada LSM lain yang memiliki visi yang sama, memberdayakan
masyarakat. Lembaga donor asing pada akhirnya memang masih terlalu
tanggung menghegemoni kelompok LSM. Dengan kekuatan finansial yang
mereka miliki, lembaga donor asing seperti tak tersentuh melancarkan
beragam agenda di Indonesia melalui tangan LSM. Menjadi semakin kokoh
ketika faktanya, pemerintah yang sebenarnya juga memiliki kekuatan finansial,
cenderung berada di posisi yang berseberangan dengan kelompok LSM. Kondisi
inilah yang membuat banyak LSM hingga saat ini tidak bisa melepaskan diri dari
ketergantungannya pada pendanaan pihak asing.
499