Page 240 - Naskah Gubernur Pertama di Indonesia
P. 240

226       Gubernur Pertama di Indonesia



                4.  Mengganti para pimpinan dan pekerja berkebangsaan Jepang
                    di jawatan-jawatan pemerintah dengan tenaga kerja bangsa
                             57
                    Indonesia.
                   Tuntutan pertama sesuai dengan Maklumat Pemerintah pada
            31 Agustus tentang perintah  pengibaran bendera nasional Sang
            Merah Putih mulai 1 September 1945, seperti halnya mengucapkan
            salam ‘Merdeka!’  dengan mengangkat tangan setiap kali bertemu
                                            58
            dengan sesama bangsa Indonesia.  Pengibaran bendera Sang Merah
            Putih menjadi  semacam pertanda apakah satu  wilayah sudah
            mengakui keberadaan Republik Indonesia atau belum.  Dari catatan
            seorang ‘propagandis’ pendukung Sukarno, Soekardani, didapat
            kesan umum tentang dukungan terhadap pemerintah Sukarno-Hatta
            di Bali. Ia menggambarkan bahwa  sampai akhir September 1945
            hanya satu swapraja yang dengan semangat mengibarkan Sang
            Merah Putih, yaitu Jembrana di ujung barat Bali, karena putra sang
            raja, Anak Agung Bagus Suteja, aktif dalam pergerakan pemuda. Di
            dua kota utama, Singaraja (Buleleng) dan Denpasar (Badung), Sang
            Merah Putih tidak banyak berkibar walaupun raja-rajanya
            mendukung Republik karena para pimpinan Dai Nippon berkantor di
            kedua kota tersebut. Sementara itu di  swapraja  Gianyar dan
            Klungkung tak ada sama sekali pengibaran Sang Merah Putih karena
            raja  Gianyar saat itu  mengatakan belum menerima instruksi  dari
            Minseibu Chōkan ataupun Gubernur Pudja.
                                                    59
                   Apa yang diamati Soekardani kurang lebih menggambarkan
            dengan tepat keadaan di Bali. Penguasa Dai Nippon menolak semua
            tuntutan  Gubernur Pudja. Mereka memegang teguh perintah dari
            Tokyo agar menjaga  status quo  hingga utusan  Sekutu tiba  di  Bali
            untuk menerima penyerahan Jepang secara resmi. Dengan penolakan
            itu beberapa raja di Bali memang  menjadi ragu-ragu untuk
            mengambil  sikap  politik tertentu.  Berbeda  dengan para raja di
            Yogyakarta  dan  Surakarta  yang  langsung  memberikan  dukungan
            penuh kepada pemerintah Sukarno-Hatta. Gubernur Pudja sendiri
            menyadari kepelikan  soal yang ia hadapi. Ia mengatakan kepada
            Soekardani bahwa Bali diumpamakan sebuah dokar, kusirnya adalah
   235   236   237   238   239   240   241   242   243   244   245