Page 251 - Naskah Gubernur Pertama di Indonesia
P. 251

I Gusti Ketut Pudja      237



                      Reorganisasi pemuda tersebut sedikit-banyak mengikuti
               perkembangan pengorgani-sasian pemuda di Jawa setelah terjadi
               kongres pemuda di Yogyakarta pada 10–11 November 1945. Pejabat-
               pejabat republik yang dekat dengan pemuda, Amir Sjarifuddin dan
               Sutan Sjahrir, melihat kebutuhan mendesak untuk menciptakan
               struktur organisasi  yang lebih kohesif dan sentralistik setelah
               struktur pemerintahan militer Jepang runtuh. Puluhan ribu pemuda
               bergerak dalam ratusan laskar atau organisasi yang bertumbuhan di
               seluruh Indonesia. Mereka menyerbu markas-markas militer Jepang,
               berusaha merebut senjata, dan dengan gagah berani melawan
               tentara Sekutu. TKR  tidak  dapat menampung kelimpahan tenaga
               sebanyak itu karena kebutuhannya sendiri mengonsolidasikan
               personel  dan kesatuan-kesatuan dari badan-badan  militer  yang
               dibentuk Belanda sebelum Perang Dunia II, seperti KNIL dan
               Prayoda, dan Peta atau Heiho pada masa Jepang. Mereka khawatir
               kekuatan  revolusioner itu justru akan mengganggu upaya
               pemerintah berunding dengan  pemerintah Belanda untuk
               penyelesaian soal otoritas kenegaraan apabila tidak segera ditata dan
                                                               91
               dikendalikan dengan struktur komando yang jelas.
                      Keputusan pemerintah  untuk mengukuhkan badan militer
               negara dan laskar-laskar independen ternyata tepat waktu. Pada 10
               November 1945, perlawanan pemuda dan rakyat terhadap
               kedatangan Sekutu mencapai puncaknya dalam pertempuran besar
               di Surabaya  yang  dipicu  oleh tewasnya  perwira  tinggi  Inggris,
               Brigjen. A. W. S. Mallaby. Pihak Sekutu melihat bahwa Indonesia tidak
               main-main  dalam  mempertahankan  kemerdekaannya.  Namun,
               setelah Perang Dunia II mereka tidak berminat mengerahkan
               pasukan lebih besar untuk menghancurkan perlawanan Indonesia.
               Mereka mendesak Belanda untuk melakukan perundingan damai.
                                                                               92
               Berbagai peristiwa  selanjutnya memperlihatkan bahwa  Belanda
               tidak bersedia begitu saja melepaskan Indonesia. Di Bali konsolidasi
               kekuatan militer pro-Republik malah menimbulkan kecemasan di
               kalangan raja-raja yang sejak awal ragu-ragu mendukung Republik.
               Masing-masing membentuk pasukan milisi  bersenjata sendiri, dan
               dengan alasan menjaga  keamanan  wilayah swapraja di bawah
   246   247   248   249   250   251   252   253   254   255   256