Page 26 - Naskah Gubernur Pertama di Indonesia
P. 26
Teuku Mohammad Hasan 13
Belanda. Orang di kampung datang berduyun-duyun ingin
mendengar cerita Hasan tentang pengalamannya di Eropa. Para
pemuka agama di Aceh saat itu, seperti Tengku Daud Beureueh,
Habib Yahya Lampoh Leupe dan M. Hasan El Muhammady, juga
datang bertemu dan berdiskusi mengenai tasawuf dengan Hasan.
Pada waktu itu pula, Hasan berkenalan dengan para uleebalang lain
yang tinggal di sekitar Pidie, seperti Teuku Haji Ibrahim, Teuku Raja
Keucik, Teuku Gade Aron, Teuku Pakeh Mahmud, Teuku Hasan
Keumala dan Teuku Radja Abdullah Tjumbo. Agaknya tidak ada
seorang pun, termasuk Hasan, yang membayangkan bahwa kedua
kelompok elite sosial tersebut akan mengalami benturan setelah
kemerdekaan.
Pecahnya Perang Dunia II dan kedatangan Jepang ke Hindia
Belanda mengguncang tatanan sosial, politik dan ekonomi yang telah
lama dibangun oleh pemerintah kolonial. Ketika tentara Jepang
pertama kali mendarat di Medan, orang-orang menerima mereka
dengan antusias dan menurut penuturan Hasan dalam memoarnya,
bendera Merah Putih dikerek di mana-mana sebagai tanda
penghormatan. Sementara di Aceh, keadaannya jauh lebih brutal.
Menjelang pendaratan tentara Jepang, terjadi pembunuhan terhadap
asisten residen dan kontrolir di Seulimeum. Teungku Daud Beureueh,
yang merupakan pimpinan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA)
menjadi kolaborator utama dengan tentara Jepang.
Pada saat itu, Hasan tengah bekerja di kantor Gubernur
Sumatera di Medan dan tidak mengetahui apa-apa mengenai
tindakan brutal yang terjadi terhadap pegawai Belanda di Aceh. Pada
masa pendudukan Jepang, Hasan kemudian diangkat sebagai
pegawai di kantor Tinzukyoku yang dikepalai oleh Mangaraja
Soangkupon. Tugasnya adalah menerima orang-orang Sumatera
Timur, yakni dari Tanah Karo, Simalungun, Deli Serdang, dan lainnya,
yang datang untuk mengadu sebelum kemudian diteruskan kepada
Resimen Militer Sumatera Timur.
Dalam perkembangan, tentara Jepang terus mengalami
kekalahan dalam banyak pertempuran melawan tentara Sekutu.