Page 74 - Naskah Gubernur Pertama di Indonesia
P. 74
Soetardjo Kartohadikoesoemo 61
dulu meninggalkan rapat. Pimpinan rapat diserahkan kepada Wakil
Menteri Penerangan Ali Sastroamidjojo.
Bersama Kasman Singodimedjo, Ali Sastroamidjojo
melanjutkan rapat. Sementara Soetardjo yang tetap menyaksikan
jalannya rapat secara saksama, sambil menimbang, dan berpikir,
tiba-tiba ditunjuk Ali Sastroamidjojo untuk berbicara, “Ini Saudara
Soetardjo seharian penuh belum pernah bicara. Apakah tidak punya
pendapat?” Soetardjo menimpali, “Kalau ditanya, memang saya
punya pendapat.”
22
Soetardjo menyampaikan pemikirannya. Ia
menyederhanakan persoalan meski agak sedikit bertaruh bahwa jika
terjadi pengoperan kekuasaan dari pemerintah militer Jepang
kepada Sekutu, itu hanya berarti pengoperan kekuasan di tingkat
pusat. Sementara di daerah, situasinya berbeda. Sebagai seorang
birokrat berpengalaman, ia punya alasan kuat. Menurut Soetardjo,
pamong praja adalah pemimpin rakyat di daerah. Jika tentara
pendudukan Jepang menyerahkan kekuasaannya, akan terjadi
kekosongan pemerintahan di daerah. Maka, kekuasaan daerah yang
tertinggi praktis berada di tangan bupati. Oleh karena itu, bupati
dengan pemerintah Republik Indonesia diharapkan dapat bersinergi
demi satu kepentingan yakni mempertahankan kemerdekaan.
Soetardjo menyarankan agar selekas mungkin para bupati
dipanggil ke Jakarta. Mereka akan berkonsolidasi dengan pemerintah
pusat. Para bupati akan diminta kesediaannya untuk setia mengabdi
kepada Republik. Jika setuju, mereka diminta angkat sumpah:
mengakui Republik Indonesia dan tunduk pada pemerintahan yang
dipimpin Sukarno-Hatta. Selanjutnya, para bupati diminta
berkoordinasi dengan bawahannya, juga melibatkan alim ulama
untuk membela negara. Forum sepakat dengan usulan Soetardjo
23
disertai riuh tepuk tangan sekaligus tanda rapat berakhir. Dua hari
kemudian, para bupati seluruh Jawa berdatangan ke Jakarta.
Ketika tentara Sekutu mendarat 29 September 1945,
pemerintah RI telah tersambung dengan pemerintah daerah tingkat I
(provinsi) dan tingkat II (kabupaten). Di Bandung, pasukan Sekutu