Page 80 - Naskah Gubernur Pertama di Indonesia
P. 80
Soetardjo Kartohadikoesoemo 67
sekitar kali beriringan dengan gemuruhnya gelombang air. Suara-
suara itu bahkan terdengar sampai ke rumah gubernuran.
Keesokan pagi dilakukan pemeriksaan dan ditemukan
banyak orang sipil yang hanyut merenggang nyawa. Banjir itu
menghancurkan sekira 500 rumah dan memakan lebih dari 200
korban jiwa. Aktivitas penyelamatan menjadi agenda darurat bagi
kelompok perjuangan. Prajurit Gurkha memperkeruh suasana
dengan menembaki mereka yang berupaya melakukan
penyelamatan. Selain itu, tak sedikit rumah penduduk kampung
dirusak atau dibakar serdadu Belanda.
33
Pada 26 November 1945, para pemuda mengganggu iring-
iringan RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees),
organisasi yang mengurus tawanan perang, dari Cimahi menuju
bandara di Bandung. Walhasil, iring-iringan tak jadi diterbangkan ke
Jakarta. Untuk menyikapinya, Sekutu mengirim sekompi pasukan
untuk membersihkan “gerombolan pengacau.” Sebanyak sepuluh
orang Indonesia tewas dan lima orang lainnya mengalami cedera.
Kontak senjata merembet lagi dan terus berlanjut memasuki
Bandung.
Gubernur Soetardjo terpaksa mengungsi ke desa Majalaya, di
selatan Bandung. Dalam kampung itu, ia tetap mengawasi jalannya
pertempuran bersama bupati Bandung. Seperti diduga, serangan itu
dapat ditangkis tentara Sekutu. Gerakan pejuang Bandung
dipatahkan dan berujung kegagalan. Bagi kubu Sekutu, kondisi
anarkis menghambat mereka untuk menguasai seluruh kota dan misi
melucuti tentara Jepang. Di sisi lain, mereka juga harus bertanggung
jawab untuk menyediakan tempat berlindung bagi orang sipil Eropa.
Oleh karena itu, Sekutu menginginkan gencatan senjata berlaku
untuk sementara waktu.
Memasuki tengah hari, 26 November 1945, pimpinan Sekutu
memanggil Gubernur Soetardjo ke Bandung untuk berunding.
Negosiasi antara pemerintah Indonesia dengan Brigade ke-37 Inggris
dimulai setelah pertempuran barikade di jalan menuju Cimahi.
Pembicaraan dilakukan di markas Sekutu dalam sebuah kamar