Page 86 - Naskah Gubernur Pertama di Indonesia
P. 86
Soetardjo Kartohadikoesoemo 73
KEHIDUPAN SETELAH GUBERNUR
Hingga masa pengakuan kedaulatan, Soetardjo Kartohadikoesoemo
berkedudukan sebagai penasihat presiden. Di Yogyakarta, ia
menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung yang
diperankan dengan baik. Ia memprakarsai penolakan penggabungan
Palang Merah Indonesia dengan Palang Merah Belanda;
meningkatkan kewaspadaan dalam menghadapai agresi militer
Belanda dan pemberontakan Musso di Madiun; menegakkan
kewibawaan pemerintah pada waktu ibu kota RI di Yogyakarta
diduduki Belanda masa agresi militer kedua. Sukarno acap kali
menyebut Soetardjo yang lebih senior itu secara akrab sebagai
“saudara tua.”
47
Selama beberapa bulan, Soetardjo sempat “ditepikan” dari
pemerintahan. Ia dianggap bagian dari birokrat rezim feodal warisan
zaman kolonial. Pada 1950, Soetardjo menerima surat pembebasan
tugasnya dari Menteri Dalam Negeri Mr. Mohammad Roem. Namun,
atas campur tangan Presiden Sukarno, pada 1953, Soetardjo kembali
memperoleh tempat dalam pemerintahan. Mewakili Partai Indonesia
Raya (Parindra), Soetardjo menjalankan peran baru sebagai anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Sementara. Selain itu, Soetardjo ikut
mengusahakan perbaikan gaji pegawai negeri dan pensiunan. Ia
duduk dalam Panitia Gaji Pegawai Negeri sebagai ketua (1951–55).
Kariernya berlanjut sebagai Komisaris Negara Urusan Otonomi
Daerah pada 1954–56.
Selama enam tahun pengabdiannya sebagai anggota Dewan,
Soetardjo menggoreskan berbagai pengalaman. Sistem demokrasi
liberal yang diterapkan dalam parlemen kala itu dianggapnya telah
mengobarkan angkara murka dan hawa nafsu dalam hidup
duniawiah. Ia pun mengakui federasi partai politik yang dibentuknya
acap kali bersitegang dengan Partai Masyumi dan Partai Sosialis
Indonesia. Menurut Herbert Feith, Soetardjo merupakan salah
48
seorang pemimpin di parlemen yang cenderung mendefinisikan
demokrasi dalam gagasan politik dan moral tradisional. “Definisi