Page 197 - Pola Sugesti Erickson
P. 197

Milton Erickson: Pola Sugesti dan Strategi Terapi




                   adalah bagian dari simptom yang harus ditangani. Sering bukan kekuatan pribadi orang

                   itu yang vital dalam situasi terapetik. Sering sekali kekuatan orang untuk mengendalikan
                   situasi berasal dari kelemahan, perilakunya yang tidak masuk akal, dan kondisinya yang

                   menyedihkan. Perilaku pasien adalah bagian dari masalah yang harus dibereskan.
                       Kadang, terapi bisa dijalankan dengan memanfaatkan perilaku-perilaku pasien yang

                   ganjil, absurd, irasional, dan mungkin tampak tolol. Contoh kasus di bawah ini adalah
                   tentang pasien yang datang kepadanya untuk dihipnotis dengan permintaan yang tidak

                   masuk akal. Penanganan ini disampaikan cukup detail sehingga kita bisa belajar banyak

                   darinya.

                              Si Pantat Beku
                              Seorang perempuan muda yang telah bercerai tiga kali datang menemui Erickson
                              dengan kepentingan menjalani terapi untuk satu masalah saja. “Aku akan
                              menyampaikan kepadamu masalah itu, tetapi aku tidak menginginkan penanganan
                              hal-hal lain. Kau harus berjanji untuk hanya menangani satu masalah itu,” kata
                              perempuan itu.
                                Inti ceritanya: pada usia 18 ia membuat keputusan impulsif untuk menikah dengan
                              lelaki ganteng 25 tahun, yang ternyata menggunakan perkawinan ini sebagai sarana
                              untuk melawan kehendak orang tuanya. Pada malam pertama ia tahu bahwa
                              suaminya diam-diam seorang pemabuk, dan lelaki itu dalam pengaruh alkohol ketika
                              mereka bercinta. Bagi perempuan itu, kenyataan ini menyiratkan penolakan terhadap
                              dirinya.
                                Lelaki itu menyalahkannya, memakinya dengan kasar, menyebutnya secara
                              menyakitkan sebagai “si pantat beku,” meninggalkannya sendirian dan pergi ke
                              tempat pelacuran. Namun, meski dengan pengalaman malam pertama seperti itu, ia
                              terus mempertahankan perkawinan mereka. Beberapa bulan kemudian, setelah gagal
                              menunjukkan kepada suaminya bahwa ia perempuan dengan seksualitas normal, ia
                              menceraikan lelaki itu. Namun, pengalaman ini memberinya ketakutan, jangan-
                              jangan lelaki itu benar bahwa ia menyedihkan secara seksual.
                                Setahun kemudian, untuk menebus kekecewaan pada perkawinan pertama, ia
                              kawin lagi dengan lelaki feminin yang kecenderungan homoseksualnya terungkap
                              dengan sendirinya oleh fakta bahwa lelaki itu tidak tertarik pada tubuh istrinya.
                              Lelaki itu menikah hanya untuk menghindarkan diri dari pandangan negatif orang-
                              orang di sekitarnya, dan istrinya adalah perempuan kaya raya yang memiliki rumah
                              dan sebagainya atas namanya sendiri. Tetapi perkawinan tampaknya merupakan
                              siksaan bagi si lelaki.




                                                                                                      197
   192   193   194   195   196   197   198   199   200   201   202