Page 134 - anzdoc.com_sejarah-nasional-indonesia-vi
P. 134
c. Seni
Pada bidang seni tari periode tahun 1945-1955 pembaruannya baru
terbatas pada teknik penyajian, yaitu dengan menyingkat waktu, memeras
atau menyingkat cerita dan penyederhanaan. Selama periode 1955-1956 mulai
tampil kreasi baru. Akan tetapi, kreasi-kreasi itu masih merupakan pengolahan
materi elemen-elemen tari yang terdapat di Indonesia, baik tari klasik maupun
tarian rakyat. Mengenai perkembangan seni bangunan dapat dikemukakan
bahwa keadaan bangunan di kota-kota pada umumnya mengambil tempat tidak
berketentuan dan tidak melaraskan diri dengan keadaan alam. 18
3 keadaan Politik indonesia
Keberhasilan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
merumuskan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 pada esensinya merupakan
akhir suatu perdebatan panjang di antara tokoh-tokoh pergerakan tentang
cita-cita demokrasi Indonesia. Adapun perbedaan itu mencakup, tentang
badan perwakilan politik. Apakah badan perwakilan ini berbentuk parlemen
atau yang lain. Hatta mencita-citakan suatu badan perwakilan pilihan rakyat
yang akan memilih anggota - anggota pemerintah (kabinet), dan karena itu
bisa benar-benar mengontrol dan mengawasi eksekutif. Sedangkan Soekarno
meskipun menginginkan suatu badan perwakilan yang hidup dinamis, menolak
gagasan tentang sistem parlementer seperti yang dibayangkan Hatta dengan
alasan bahwa sistem itu merupakan cerminan dari paham individualisme dan
liberalisme yang hanya akan memperkeruh konflik ketika itu. 19
Selanjutnya, tentang sistem pemerintahan negara Indonesia. Hatta secara
konsisten memperjuangkan sistem pemerintahan parlementer, yang didukung
langsung oleh Yamin. Sedangkan Soekarno tetap mendukung Soepomo
tentang integralisme atau faham kekeluargaan sebagai yang mendasari negara
Indonesia. Konferensi-konferensi yang diadakan antara wakil-wakil RIS dan
20
Republik Indonesia di Jakarta menghasilkan piagam persetujuan pada tanggal
18 Ibid, h.407-409
19 Bantarto Bandoro, Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia, (Jakarta: CSIS, 1995). h. 70.
20 Ibid, h. 72
Sejarah Nasional Indonesia VI 130