Page 200 - anzdoc.com_sejarah-nasional-indonesia-vi
P. 200
8 Kebijakan Ekonomi Masa
Demokrasi Terpimpin
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan awal dari perubahan berbagai
kebijakan, termasuk di bidang ekonomi. Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli
1959, Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi
Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segalanya diatur oleh pemerintah).
Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan
persamaan dalam sosial, politik, dan ekonomi. 24
Sistem ekonomi masa demokrasi terpimpin ini dibahas dalam buku
Bung Hatta yang berjudul “Ekonomi Terpimpin”, mengatakan bahwa pada masa
demokrasi terpimpin Presiden Soekarno terlihat melakukan tekanan pada sektor
ekonomi. Dengan konsep terpimpin yang diusungnya, membubarkan parlemen
dan peranan kabinet digantikan oleh peranan Presiden sebagai pemimpin negara
seutuhnya. 25
Pada dasarnya, perkembangan kehidupan perekonomian Indonesia pada
masa Demokrasi Terpimpin merupakan lanjutan dari rencana pembangunan yang
telah disusun pada masa Demokrasi Liberal/Demokrasi Parlementer. Contohnya
ialah pembentukan Dewan Perancang Nasional (Depernas) yang direncanakan
pada tahun 1958 yang dibuat undang-undangnya yaitu UU No.80/1958 dan baru
dapat terealisasikan pada tanggal 15 Agustus 1959 masa Demokrasi Terpimpin. 26
Dengan sistem ini diharapkan Indonesia dapat menuju pada kemakmuran
bersama dan persamaan dalam sosial, politik, dan ekonomi. Tapi, nyatanya
kebijakan yang diambil belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia
pada masa itu. Berikut merupakan kebijakan yang diambil pemerintah
27
Indonesia dalam mengatasi permasalahan ekonomi nasional, yaitu:
a. Dewan Perancang Nasional
Sesuai yang dikatakan sebelumnya bahwa Demokrasi Terpimpin dengan
sistem ekonomi etatisme/ekonomi Terpimpin merupakan lanjutan dari
24 Rowland Pasaribu, Sistem Perekonomian Indonesia, (Jakarta: Gunadarma,2010). h. 13
25 Rudiana, loc.cit.
26 Poesponegoro dan Notosoesanto. Op.Cit. h. 429.
27 Sudirman. Op.Cit. h 395
Sejarah Nasional Indonesia VI 196