Page 23 - New Final HS Mutahar
P. 23
10 | Husein Mutahar dalam Lintasan Sejarah: Riwayat Sang Pandu Sejati
gugur dalam menyelamatkan bendera ini, percayakanlah tugasmu
kepada orang lain dan dia harus menyerahkannya ke tanganku sendiri
sebagaimana engkau mengerjakannya…”
Pada saat Sukarno menitipkan sang saka Merah Putih kepada
Mutahar, situasi di sekitar Gedung Agung terus dikepung tentara Belanda
dan dihujani bom. Sejenak Mutahar terdiam. Tanggungjawabnya
terasa sangat berat. Ia memejamkan matanya dan berdoa agar Allah
mengabulkan doanya. Bendera pusaka itu kemudian dipisahkan menjadi
dua. Dalam benak Mutahar jika bendera Pusaka dipisahkan, maka tidak
dapat disebut Bendera, karena hanya berupa dua carik kain, merah dan
putih.
Dengan bantuan Ibu Perna Dinata, Mutahar mencabut benang
jahitan yang menyatukan kedua bagian merah dan putih bendera itu.
Kemudian oleh Mutahar, kain merah dan putih itu lalu diselipkan di
dua tas terpisah miliknya. Seluruh pakaian dan kelengkapan miliknya
dijejalkan di atas kain merah dan putih itu. Ia hanya bisa pasrah, dan
menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dalam pemikiran Mutahar saat itu, bagaimana caranya agar pihak
Belanda tidak menyita kain merah-putih itu. Bagi bangsa Indonesia,
bendera itu adalah sebuah simbol Negara yang harus diselamatkan
dan dipertahankan. Tak lama kemudian, Presiden Sukarno ditangkap
oleh Belanda dan diasingkan ke Prapat (di pinggir danau Toba)
sebelum dipindahkan ke Muntok, Bangka. Sementara wakil presiden
Mohammad Hatta langsung dibawa ke Bangka. Mutahar dan beberapa
staf kepresidenan juga ditangkap dan diangkut dengan pesawat dakota ke
Semarang. Mereka ditahan di sana selama satu bulan.
Sehubungan dengan peristiwa tersebut, Sukari Handoyo Subroto,
seorang kakak pandu yang pernah menjadi adik binaan Husein Mutahar
sejak dekade ’40-an menceritakan kembali apa yang pernah dituturkan
oleh Mutahar kepadanya, ketika Mutahar ditahan di Semarang dan berhasil
melarikan diri. Lebih lanjut Sukari mengatakan bahwa sebenarnya, ketika
Mutahar masih menjadi tahanan kota, teman sekelasnya di AMS, pada
saat itu menjadi sekretaris pemerintah Belanda di Semarang. Ia yang
memberitahukan kepada Mutahar bahwa besok pagi Mutahar akan
diadili. Temannya itu kemudian menyarankan agar pergi ke Jakarta. Tidak