Page 237 - Final Sejarah Islam Asia Tenggara Masa Klasik
P. 237
Maka ciri lain dari tradisi integrasi Aceh, pengganti Iskandar Thani, dalam perdebatan atau perbedaan seorang pendatang yang diminta
adalah menyingkirkan unsur-unsur mendukung gerakan ulama moderat pendapat dari kedua corak otoritas ini, menjadi raja. Pendatang itu tak lain
yang tidak terintegrasi ke posisi yang untuk menyingkirkan ar-Raniri dari maka tidak jarang pandangan agama daripada penyebar agama. Karena itu
marginal, yang keberadaannya “diam- lingkungan istana. 43 lebih dominan. Inilah yang terjadi di bisa dimengerti jika gelar lain dari
diam” diakui, atau bahkan dipakai, Aceh, ketika raja membiarkan ulama Sultan Sulu ialah Paduka Malasari
tetapi tidak dapat diterima sebagai Dengan bukunya, Bustanus Salatin, Ar- menjalankan reformasinya. Maka Maulana al-Sultan. Dengan nama ini
bagian dari kerangka konseptual yang Raniri memberikan sumbangan yang bisalah dipahami kalau kemudian elite tergabunglah biografi raja sebagai
ideal Mantra, jampi-jampi, kedudukan berharga dalam pembentukan tradisi kekuasaan berusaha mendapatkan raja penyebar agama, yaitu maulana (seperti
dukun, bissu (di Sulawesi Selatan), politik Aceh. Sultan adalah pemegang atau penguasa yang relatif lemah, yang juga sebutan terhadap penyebar agama,
atau comoh di Tanah Semenanjung monopoli inisiatif yang berwawasan bisa dikendalikan. sebelum diakui sebagai sunan atau wali,
adalah ril dan aktual, terjadi dibiarkan sosial, dan tindakannya harus di Jawa) dan keterikatan Sulu ke dalam
seakan-akan biasa di luar kerangka merupakan perwujudan dari takdir Kecenderungan ini pulalah yang tradisi “dunia Melayu”. Bahkan boleh
47
44
“kebudayaan” sah. Tuhan. Iskandar Muda mengalahkan terdapat di Palembang/ Suara penguasa dikatakan bahwa landasan legitimasi
Pahang bukan karena ia bermaksud agama atau penghulu, yang bergelar kekuasaan dari “orang-orang Moro”,
Dalam proses pembentukan tradisi yang untuk memperluas wilayahnya. Pangeran Natta/Agama, lebih penting yang dikatakan oleh seorang ahli sebagai
terus-menerus, sang penguasa yang Kemenangan atas Pahang adalah wujud dari Temenggung Kerta Negara, yang “masyarakat tunggal, meskipun bukan
memiliki daulat, selalu menempati posisi “hikmah Allah yang terlalu ajaib dan mengadili\masalah pidana, meskipun kebudayaan tunggal”, ditentukan
48
pusat, baik sebagai penganjur maupun kodrat-Nya yang dari amat ghaib, pada putusan mereka, “menurut Qur’an oleh ikatan geneologis dengan raja-raja
penentang gelombang informasi. Sebagai berlakunya iradat- Nya atas seseorang”. atau adat harus diperkenan oleh Sultan pertama ini. Tiada datu atau kepala
daulat ia bukanlah dewa dalam konsep Bukankah karena kemenangan ini sebelum dilaksanakan. Demikian pula daerah, apalagi Sultan, yang akan dapat
45
Ciwa-Budhis, melainkan wakil Tuhan Iskandar Muda mendapatkan anak halnya dengan kerajaan Sulu. Setidaknya pengakuan tanpa ikatan ini. Artinya
di bumi. Sebarang tindakannya tidak angkat, yang dijadikannya sebagai menurut kebiasaan yang berlaku, jika ialah pembuktian dari tarsila bahwa ia
saja harus bermakna secara religius, ia menantu untuk kemudian menjadi seandainya terjadi perbedaan pendapat adalah keturunan Nabi—gelar Syarif
sendiri merupakan bagian dari sistem penggantinya yang demikian bijaksana? sebagai pemegang jabatan keagamaan atau sayyid (dari garis Hasan atau
politik yang didukung agama. Setiap Ia adalah Iskandar Thani, raja pelindung yang tertinggi, dengan panglima, jabatan Husein) adalah suatu kemestian.
42
gangguan, apapun bentuknya dalam ar-Raniri sendiri. tertinggi pada hirarki politik Sulu,
sistem harus dihindarkan. Dan setiap maka, menurut seorang penulis Spanyol, Meskipun Sulu (jika dibanding
penyimpangan yang mungkin telah Raja sebagai “khalifatullah” adalah “pandangan Kadhi-lah yang berlaku” . Maguindanao yang terdiri atas tiga
46
terjadi dalam sistem harus diluruskan. puncak kekuasaan dan keabsahan kesultanan, apalagi dengan Maranao,
Karena itulah Sultan Iskandar Thani dalam susunan hirarki. Dalam tradisi Salah satu hal yang ditegaskan oleh yang berpusat banyak) telah mencapai
mendukung dan melindungi gerakan mengenal dua otoritas yang disebut tarsila ialah bahwa raja yang pertama, tingkat unifikasi yang tertinggi, namun
“ortodoks” radikal yang dilaksanakan Tajus- Salatin, “tahta” dan “nurbuwah”, baik di Sulu (dengan Sultan Sharifu sistem politiknya memberi kemungkinan
oleh Nuruddin ar-Raniri. Dan dunia dan agama, raja adalah orbitan ul-Hasjim), maupun di Maguindanao bagi terjadinya persaingan untuk
dalam situasi yang sama pula, ratu terakhir. Seandainya raja belum terlibat (dengan Syarif Kabunsuan) adalah mendapatkan jabatan sultan. Sultan
224 Dinamika islam Di asia tenggara: masa klasik Dinamika islam Di asia tenggara: masa klasik 225