Page 262 - Final Sejarah Islam Asia Tenggara Masa Klasik
P. 262

(1661).  Seorang yang moderat, Rauf     Menjelang akhir abad ke 19 Shattariah,                      suluk menunjukan bahwa pandangan       “wujud”. Kalau tarekat, yang didukung
                  112
            tidak mau dengan begitu saja menuduh    yang dikatakan oleh Snouck Hugronje                         yang benar hanyalah mungkin dengan     oleh legitimasi silsilah, adalah suatu
                                                                                      116
            seseorang kafir. Jika benar orang itu   telah banyak dicampuri oleh anasir-                         mengikuti bimbingan spiritual. Maka    kelembagaan yang memungkinkan
            kafir, untuk apa kata-kata dibuang.     anasir “pribumi”, harus menghadapi                          pada yang tertinggi orang akhirnya,    seseorang mendapat “bimbingan yang
            Kalau ia tidak kafir, ujarnya, maka kata   serangan yang dilancarkan oleh tarekat                   melihat betapa segala pertentangan telah   benar” dalam usaha menuju suasana
            itu akan mengena diri sendiri. Dikenal   Naqshabandiyah, yang lebih “murni”,                        terlebur dalam kesemestaan. 117        kesemestaan yang hakiki itu, maka
            dalam sejarah Aceh, sebagai Teungku     dan akhirnya oleh gerakan reformasi                                                                bagaimanakah dengan masyarakat luar
            di Kuala, karena peranannya sebagai     yang sangat menggebu-gebu di awal                           Negara Ideal: Tajus-Salatin            yang terdiri dari goIongan awam?
            pemegang otoritas agama, Rauf bukan     abad 20.                                                    Begitulah, renungan sufistik, yang     Usaha menerangkan lahirnya “alam
            saja seorang pemikir sufistik yang juga,   Tetapi menjelang itu, pemikiran sufistik                 bermula dari kesadaran akan kefanaan   Minangkabau” dari sudut pemikiran
            seperti Hamzah Fansuri, merumuskan      terus menyebar. Dan, sejalan dengan                         hidup di dunia—kita hanyalah “anak     sufistik adalah gejala yang umum, ketika
            sistem kosmogoninya,  tetapi adalah     itu, pemakaian simbol-simbol kultural                       dagang”, kata Hamzah atau hidup di     hidup kemasyarakatan dan kenegaraan
                                113
            pula pelopor utama dalam penulisan      lama dalam usaha pencairan makna                            dunia tak obahnya dengan “sarang       telah dipikirkan. Hal ini dilakukan
            tafsir al-Qur’an. Ia menulis Tarjuman   dari hakikat keyakinan agama terus                          laba- laba”, terukir di batu nisan     bukanlah sekedar usaha Islamisasi
            al-mustafid dalam bahasa Melayu.        berlanjut. Hal ini dengan sangat jelas                      Samudra-Pasai, seperti menirukan bunyi   konsep “alam Minangkabau”, yang tidak
                                          114
            Dari tafsir yang bercorak ortodoksi     dan kreatif dapat dilihat suluk-suluk                       al-Qur’an,kemudian mempersoalkan       mempunyai pusat politik yang fungsional,
            ini kelihatanlah besarnya pengaruh      Jawa, yang juga memperlihatkan                              hubungan antara yang fana itu dengan   tetapi juga menunjukkan kecenderungan
            Tafsir al-Jalalayn—suatu pengaruh yang   kecenderungan monistis. Dengan                             keabadian. Maka, bukan saja kenyataan   kosmogoni yang sufistik.  Batu nisan
                                                                                                                                                                            118
            sampai sekarang berlanjut di dunia      memakai perumpamaan, pertunjukan                            “badan” dan “roh”, yang bersatu, yang   Sultan Malikul-Saleh, secara tak langsung
            pesantren —meskipun Rauf sendiri        wayang, Suluk Kadresan, yang memakai                        dimasalahkan, tetapi juga, dan terutama,   adalah juga pengakuan yang mutlak
                     115
            mengatakan tafsirnya “hanyalah”         nama penulis Ibrahim Sesmara,                               corak hubungan antara makhluk dengan   bahwa peranan raja, atau sultan, tak
            terjemahan saja dari tafsir Baydawi     menyatakan bahwa tiada beda antara                          al-Khalik, sang Maha Pencipta. (Ataukah   terlepas dari sistem kosmogoni mistik.
            (Anwar al tanzil wa asrar al-ta’wil). Dengan   yang disembah dan yang menyembah.                    antara “manusia” dengan Zat yang       Peranan raja yang dimainkan dengan
            tafsir ini Abdur Rauf, seperti ar-Raniri,   Keduanya adalah dalang, yaitu Ia, yang                  tertinggi?) Dengan begini, di samping   benar dan baik bisa merupakan jaminan
            sebenarnya boleh juga menempatkan       merupakan kesemestaan yang tak bisa                         terlibat dalam perdebatan etika dan    bagi terbentuknya suatu komunitas
            dirinya sebagai peletak dasar dari proses   dibagi. Kini dan dalam keabadian,                       ontologis, pemikiran sufistik tak pula   yang akan melancarkan usaha ke arah
            ortodoksi yang kemudian semakin kuat.   sebagaimana halnya sejak dulu. Melalui                      bisa terlepas dari permasalahan yang   pembentukan pribadi sebagai insan kamil.
            Namun, lebih penting lagi ia adalah     mulut Sunan Bonang, yang menafsirkan                        bercorak epistemologi. Kalau telah     Dari pengalaman historis kegagalan raja
            pembawa tarekat Shattariah. Karena      cerita wayang tentang pertempuran                           demikian, maka landasan sufistik ini   menjalankan peranannya dengan benar
            itulah sampai sekarang namanya          Kurawa dan Pandawa secara terselubung                       akhirnya harus memasukkan pula corak   bisa menyebabkan al-Ghazali dan para
            selalu hidup dalam kenangan dan         ingin diperlihatkan kesemestaan yang                        hidup yang fana ini, agar proses ke arah   ulama lain untuk menjauhkan diri dari
            kuburannya pun dianggap keramat,        terdiri atas perlawanan sebagai cara                        tercapainya kesemestaan yang hakiki—   raja, atau menyebabkan Hamzah Fansuri
            sebagai tempat orang-orang berziarah.   untuk mengetahui Allah. Tampaknya                           Apakah kesatuan”kesaksian” atau        mengingatkan ummat,



         250    Dinamika islam Di asia tenggara: masa klasik                                                                                           Dinamika islam Di asia tenggara: masa klasik   251
   257   258   259   260   261   262   263   264   265   266   267