Page 265 - Final Sejarah Islam Asia Tenggara Masa Klasik
P. 265

“Aho segala kamu yang menjadi faqir   lengkap dengan jargon politiknya. Tetapi   Dengan landasan pemikiran ini maka   imperatif ini, maka teks ini sangat
 jangan bersahabat dengan raja dan amir   biarlah hal itu tak perlu dilakukan. Yang   dapat dilihat bahwa “teori kenegaraan”   tergantung pada kutiban-kutiban dari
 karena Rasul Allah bashir dan nadhir   jelas ialah, bahwa teori yang bersifat   yang ingin disampaikan oleh teks   teks-teks lain. Hampir setiap kutiban
 melarangkan kita saqhir dan kafir 119  moralistik ini sejajar dengan “nasehat”   ini ialah suatu imbauan imperatif,   disertai oleh penyebutan sumbernya.
 yang diberikan oleh Tajus- Salatin 121  yang bercorak moralistik, ke arah   Namun dalam “kekosongan sejarah”
 Tetapi dalam usaha konseptualisasi
 pembentukan masyarakat yang ideal,   Terlepas dari perdebatan tentang asal   tercapainya keharmonisan semesta.   ini, teks yang “diketahui” telah ada
 dan bahkan juga pribadi yang sempurna,   usul kitab yang sangat terkenal ini,   Negara, atau lebih tepat, kerajaan   sejak tahun 1603 ini, memperlihatkan
            semestinya merupakan suasana yang
 peranan penguasa tetap penting.. Hal ini   pengaruh Tajus-Salatin  dalam proses   memungkinkan pribadi-pribadi yang di   juga dengan cukup jelas suasana
 122
 tidak saja terpantul dari peranan para   pembentukan tradisi politik Asia   dalamnya mendapatkan pengetahuan   zamannya.. Meskipun merupakan
 sufi untuk mendampingi raja sebagai   Tenggara barangkali tak dimasalahkan   tentang Allah dan “bergabung” dalam   usaha membentuk suatu negara ideal,
 penasehat, tetapi juga dalam “strategi   lagi. Tetapi relevancy dari pengaruh itu   keridhaanNya. Hal ini hanya mungkin   Tajus-Salatin adalah pula sebuah teks
 sosial”, dan tentu saja dalam “pemikiran   dalam pemikiran tentang “kepantasan”   seandainya semua pihak yang terlibat   yang bercorak sufistik, yang memakai
 politik”. Maka, tidaklah mengherankan   politik dan kekuasaan barulah lebih jelas   dalam proses kenegaraan—raja,   gaya kisah atau ilustrasi anektodal
 kalau Hikayat Sultan Ibrahim bin Adham,   jika teks ini dibandingkan pula dengan   menteri, hulubalang orang besar dan   untuk setiap pikiran yang disampaikan.
 kisah seorang raja yang meninggalkan   teks-teks lain, yang ingin melukiskan   rakyat—berniat dan berperilaku yang   Dalam hal inilah kelihatan bahwa teks
 tahta untuk menjadi seorang sufi, cukup   sejarah.  sesuai dengan keharusan moral dari   ini diarahkan kepada sebuah komunitas
 populer. Terdapat dalam terjemahan   kedudukannya. Maka, Tajus-Salatin   yang telah “intim” dengan suasana
 bahasa Melayu, Jawa, Sunda, dan Bugis,   Tajus-Salatin mulai dengan patokan,   pun menguraikan secara terperinci   pemikiran yang dipantulkannya.
 hikayat ini juga membicarakan, dengan   “Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu”—  keharusan-keharusan moral itu.   Ucapan-ucapan yang bercorak nasehat
 gaya berkisah, tentang keadilan sebagai   “siapa yang mengenal dirinya, akan   Kesemuanya diberi ilustrasi kisah   atau teguran yang disampaikan serta
 landasan dari kekuasaan raja. Tetapi   mengenal Tuhannya “, serta peringatan   sejarah atau pun legenda dan mitologi   merta memberikan kesadaran pada
 bagaimanakah sikap raja yang adil   bahwa hidup ini tak obahnya   Islam.  yang menerimanya. Kekuatan kata,
 itu? Maka, sang sufi pun mengatakan,   seperti “mimpi”, “dan apabila jaga ia   bukannya peristiwa, hanya mungkin
 bahwa pertama, raja harus selalu   daripada tidurnya, suatu pun tiada   Sepintas lalu Tajus-Salatin kelihatan   terjadi dalam konteks komunitas
 memperingatkan para orang besar dan   diperolehnya daripada mimpi itu”,   seperti ditulis dalam “kekosongan   kognitif, yang cukup intim—dalam
 rakyat akan hukum. Kedua, pengaduan   sebab dunia ini memang tak lebih dari   sejarah”.  Dalam arti bahwa teks ini   suasana keabsahan logika dan
                    123
 rakyat harus didengar dan diperiksa.   pada “perhentian” atau “rumah”.(54)   sama sekali tidak membuat referensi   kepekaan perasaan telah sejalan. Dari
 Ketiga, raja tak boleh tamak akan harta.   Sekarang masuk, besok akan keluar.   kepada situasi kekinian dari konteks   sudut ini pula bisa dipahami mengapa
 Dan keempat, raja tak boleh membeda-  Jadi, dengan mengenal diri sendiri kita   penulisannya. Barangkali memang   kitab Tajus-Salatin kemudian semakin
 bedakan orang dari sudut kekayaan   mengenal Allah. Dari pengenalan akan   lebih tepat disebut saja teks ini sebagai   digemari. Berbagai hikayat yang
 seseorang.  Tentu saja akan menarik   Allah kita akan dapat pula memahami   seouah konstruksi teoretis tentang   dikisahkannya memainkan peranan
 120
 sekali kalau kata-kata “sederhana” ini   hakekat ciptaannya, yaitu dunia yang   bagaimana segala sesuatu semestinya   sebagai peneguh suasana komunitas
 ditulis dalam bahasa “modern” yang   menjadi “tumpangan” menjelang maut.   berlaku. Untuk keperluan yang serba   kognitif itu.  124



 252  Dinamika islam Di asia tenggara: masa klasik   Dinamika islam Di asia tenggara: masa klasik   253
   260   261   262   263   264   265   266   267   268   269   270