Page 263 - Final Sejarah Islam Asia Tenggara Masa Klasik
P. 263

(1661).  Seorang yang moderat, Rauf   Menjelang akhir abad ke 19 Shattariah,   suluk menunjukan bahwa pandangan   “wujud”. Kalau tarekat, yang didukung
 112
 tidak mau dengan begitu saja menuduh   yang dikatakan oleh Snouck Hugronje    yang benar hanyalah mungkin dengan   oleh legitimasi silsilah, adalah suatu
 116
 seseorang kafir. Jika benar orang itu   telah banyak dicampuri oleh anasir-  mengikuti bimbingan spiritual. Maka   kelembagaan yang memungkinkan
 kafir, untuk apa kata-kata dibuang.   anasir “pribumi”, harus menghadapi   pada yang tertinggi orang akhirnya,   seseorang mendapat “bimbingan yang
 Kalau ia tidak kafir, ujarnya, maka kata   serangan yang dilancarkan oleh tarekat   melihat betapa segala pertentangan telah   benar” dalam usaha menuju suasana
 itu akan mengena diri sendiri. Dikenal   Naqshabandiyah, yang lebih “murni”,   terlebur dalam kesemestaan. 117  kesemestaan yang hakiki itu, maka
 dalam sejarah Aceh, sebagai Teungku   dan akhirnya oleh gerakan reformasi   bagaimanakah dengan masyarakat luar
 di Kuala, karena peranannya sebagai   yang sangat menggebu-gebu di awal   Negara Ideal: Tajus-Salatin  yang terdiri dari goIongan awam?
 pemegang otoritas agama, Rauf bukan   abad 20.  Begitulah, renungan sufistik, yang   Usaha menerangkan lahirnya “alam
 saja seorang pemikir sufistik yang juga,   Tetapi menjelang itu, pemikiran sufistik   bermula dari kesadaran akan kefanaan   Minangkabau” dari sudut pemikiran
 seperti Hamzah Fansuri, merumuskan   terus menyebar. Dan, sejalan dengan   hidup di dunia—kita hanyalah “anak   sufistik adalah gejala yang umum, ketika
 sistem kosmogoninya,  tetapi adalah   itu, pemakaian simbol-simbol kultural   dagang”, kata Hamzah atau hidup di   hidup kemasyarakatan dan kenegaraan
 113
 pula pelopor utama dalam penulisan   lama dalam usaha pencairan makna   dunia tak obahnya dengan “sarang   telah dipikirkan. Hal ini dilakukan
 tafsir al-Qur’an. Ia menulis Tarjuman   dari hakikat keyakinan agama terus   laba- laba”, terukir di batu nisan   bukanlah sekedar usaha Islamisasi
 al-mustafid dalam bahasa Melayu.    berlanjut. Hal ini dengan sangat jelas   Samudra-Pasai, seperti menirukan bunyi   konsep “alam Minangkabau”, yang tidak
 114
 Dari tafsir yang bercorak ortodoksi   dan kreatif dapat dilihat suluk-suluk   al-Qur’an,kemudian mempersoalkan   mempunyai pusat politik yang fungsional,
 ini kelihatanlah besarnya pengaruh   Jawa, yang juga memperlihatkan   hubungan antara yang fana itu dengan   tetapi juga menunjukkan kecenderungan
 Tafsir al-Jalalayn—suatu pengaruh yang   kecenderungan monistis. Dengan   keabadian. Maka, bukan saja kenyataan   kosmogoni yang sufistik.  Batu nisan
                                                                         118
 sampai sekarang berlanjut di dunia   memakai perumpamaan, pertunjukan   “badan” dan “roh”, yang bersatu, yang   Sultan Malikul-Saleh, secara tak langsung
 pesantren —meskipun Rauf sendiri   wayang, Suluk Kadresan, yang memakai   dimasalahkan, tetapi juga, dan terutama,   adalah juga pengakuan yang mutlak
 115
 mengatakan tafsirnya “hanyalah”   nama penulis Ibrahim Sesmara,   corak hubungan antara makhluk dengan   bahwa peranan raja, atau sultan, tak
 terjemahan saja dari tafsir Baydawi   menyatakan bahwa tiada beda antara   al-Khalik, sang Maha Pencipta. (Ataukah   terlepas dari sistem kosmogoni mistik.
 (Anwar al tanzil wa asrar al-ta’wil). Dengan   yang disembah dan yang menyembah.   antara “manusia” dengan Zat yang   Peranan raja yang dimainkan dengan
 tafsir ini Abdur Rauf, seperti ar-Raniri,   Keduanya adalah dalang, yaitu Ia, yang   tertinggi?) Dengan begini, di samping   benar dan baik bisa merupakan jaminan
 sebenarnya boleh juga menempatkan   merupakan kesemestaan yang tak bisa   terlibat dalam perdebatan etika dan   bagi terbentuknya suatu komunitas
 dirinya sebagai peletak dasar dari proses   dibagi. Kini dan dalam keabadian,   ontologis, pemikiran sufistik tak pula   yang akan melancarkan usaha ke arah
 ortodoksi yang kemudian semakin kuat.   sebagaimana halnya sejak dulu. Melalui   bisa terlepas dari permasalahan yang   pembentukan pribadi sebagai insan kamil.
 Namun, lebih penting lagi ia adalah   mulut Sunan Bonang, yang menafsirkan   bercorak epistemologi. Kalau telah   Dari pengalaman historis kegagalan raja
 pembawa tarekat Shattariah. Karena   cerita wayang tentang pertempuran   demikian, maka landasan sufistik ini   menjalankan peranannya dengan benar
 itulah sampai sekarang namanya   Kurawa dan Pandawa secara terselubung   akhirnya harus memasukkan pula corak   bisa menyebabkan al-Ghazali dan para
 selalu hidup dalam kenangan dan   ingin diperlihatkan kesemestaan yang   hidup yang fana ini, agar proses ke arah   ulama lain untuk menjauhkan diri dari
 kuburannya pun dianggap keramat,   terdiri atas perlawanan sebagai cara   tercapainya kesemestaan yang hakiki—  raja, atau menyebabkan Hamzah Fansuri
 sebagai tempat orang-orang berziarah.   untuk mengetahui Allah. Tampaknya   Apakah kesatuan”kesaksian” atau   mengingatkan ummat,



 250  Dinamika islam Di asia tenggara: masa klasik   Dinamika islam Di asia tenggara: masa klasik   251
   258   259   260   261   262   263   264   265   266   267   268