Page 134 - PENGAYAAN MATERI SEJARAH
P. 134

Pengayaan Materi Sejarah


                        Selain   itu,   dengan   terjadinya   peristiwa   pengembalian
                kekuasaaan  kepada  para  pemimpin  Republik  di  Yogyakarta  oleh
                Belanda,  pada  saat  itu  pasukan  Republik  mengetahui  bahwa
                keunggulan Belanda bidang persenjataan tidak efektif lagi; karena para
                gerilyawan dapat menyerang pasukan Belanda hampir di mana saja dari
                pangkalan-pangkalan di daerah pedesaan. Bagi pihak tentara, masa ini
                juga  memberikan  contoh  bagi  hubungan  tentara  dengan  penduduk
                sipil.  Oleh  karena  orang-orang  sipil  terkemuka  ditangkap  Belanda,
                tentara  mengambil  alih  pimpinan  perlawanan  rakyat  yang  didukung
                penduduk  desa,  terutama  dalam  hal  makanan  dan  pelayanan  selama
                bergerilya. Di samping itu, banyak pejuang gerilya merasa tidak mudah
                untuk  menerima  pengembalian  pemerintahan  ke  tangan  orang-orang
                sipil  dan  perjuangan  beralih  ke  meja  perundingan.  Menghentikan
                revolusi  lebih  sulit  daripada  memulainya,  hal  ini  tercermin  di  banyak
                daerah  di  Jawa,  Sumatra,  dan  Sulawesi  yakni  kesatuan-kesatuan
                gerilyawan  menolak  untuk  dilucuti  senjata  mereka,  dengan  alasan
                bahwa tujuan yang mereka perjuangkan belum lagi  tercapai.
                        Walaupun  menjelang  tahun  1950  kurang  berhasil  tercipta
                persatuan, namun cita-cita persatuan tetap dijadikan suatu tujuan yang
                sakral.  Suatu  hal  yang  ironis,  di  satu  sisi  Belanda  telah  memerintah
                wilayah  koloninya,  yakni  Hindia  Belanda  sebagai  suatu  negara  dengan
                satu  pemerintahan  pusat,  namun  di  sisi  lain  Belanda  mencoba
                menggunakan sistem yang sangat desentralisasi federal sifatnya sebagai
                dasar  untuk  tetap  memepertahankan  pengaruhnya  di  Indonesia  pasca
                perang.  Di  setiap  daerah  yang  dikuasai  pasca  Agresi    Militer    tahun
                1947,  Belanda  membantu  terbentuknya  negara  otonomi  dengan
                kabinet  dan  majelis  perwakilannya  sendiri  untuk  mencoba  mewakili
                semua kepentingan etnis. Namun dalam prakteknya, struktur ini dapat
                berdiri  oleh  karena  ditopang  tentara  kolonial  (KNIL)  dan  birokrasi
                kolonial.  Sebaliknya  apa  yang  mempersatukan  republik  bukanlah
                struktur tetapi cita-cita. Terutama, pada permulaan revolusi, Yogyakarta
                tidak punya alat atau media untuk mengatur gerakan-gerakan spontan
                untuk  Indonesia  merdeka  di  seluruh  Nusantara.  Bahkan,  para  pejuang
                yang  bergerak  sendiri  di  Sumatra,  Sulawesi,  Banten,  atau  Surakarta
                sepakat bahwa cita-cita persatuan harus dipertahankan terhadap usaha
                memecah belah dengan  sistem federal  yang  diciptakan Belanda  untuk
                tujuan politiknya, yakni rekolonisasi Indonesia.





                122
   129   130   131   132   133   134   135   136   137   138   139