Page 135 - PENGAYAAN MATERI SEJARAH
P. 135

2.1.3.  Perjuangan Diplomasi dan Kembali Ke Negara Kesatuan RI

                        Perjuangan kemerdekaan sebenarnya tidak hanya merebak di
                Jawa saja melainkan juga di hampir seluruh Nusantara dan tidak hanya
                dimenangkan oleh kekuatan militer tetapi juga oleh keahlian diplomasi.
                Sejak 1945 hingga 1949 berlangsung  serangkaian perundingan  antara
                RI  dan  Belanda  mengenai  cara-cara  yang  harus  ditempuh  untuk
                melaksanakan  dekolonisasi.  Secara  formal,  perundingan-perundingan
                diplomatik  dimulai  sejak  1946  hingga  1949,  yakni  Konferensi  Hoge
                Veluwe (April 1946), Perundingan Linggarjati (November 1946  – Maret
                1947),  Perundingan  Renville  (Januari  1948),  Konperensi  Meja  Bundar
                (Agustus – November 1949) dengan perantaraan Inggris dan kemudian
                Amerika Serikat.
                        Adapun,  gagasan  federalisme  lahir  dalam  kancah  perundingan
                diplomatik antara Kerajaan Belanda dan RI sejak akhir 1945. Ketika itu,
                baik  RI  maupun  Belanda  masing-masing  berkeras  bahwa  pihaknyalah
                yang  paling  berhak  atas  wilayah  bekas  Hindia  Belanda  Dalam
                perjuangan  diplomasi  ini  terdapat  tiga  kekuatan,  yakni  Republik
                Indonesia (RI), Belanda, dan BFO (Bijeenkomst Federaal Oeverleg) atau
                Perhimpunan Musyawarah Federal. BFO yang dibentuk atas prakarsa Ide
                Anak Agung Gde Agung, Perdana Menteri Negara Indonesia Timur (NIT)
                pada  1948,  bertujuan  untuk  ikut  serta  dalam  menanggulangi
                perundingan-perundingan  antara  RI  dan  Belanda  yang  pada
                pertengahan tahun tersebut terancam gagal hingga terserselenggaranya
                KMB. Atas inisiatif Ide Anak Agung Gde Agung dan R.T. Adil Puradiredja
                berkumpullah  sejumlah  wali  negara  dari  negara  bagian  serta  para
                pemimpin  “daerah-daerah  otonom”  yang  tidak  terkait  secara  politik
                dengan RI di Bandung  untuk membicarakan langkah-langkah  apa yang
                bisa diambil untuk membantu menyelesaikan konflik RI-Belanda.
                        Namun,  perkembangan  politik  kemudian  menjurus  pada  agresi
                Militer  II  sehingga  Yogyakarta  diduduki  dan  para  pemimpin  RI
                diasingkan  ke  Prapat  dan  Bangka.  Tetapi  justru  tindakan  kekerasan
                untuk  meniadakan  Republik  itulah  yang  menimbulkan  penolakan  dari
                pihak  BFO  (negara-negara  bagian).  Agresi  Militer  II  itu  dilihat  sebagai
                suatu  bentuk  pengkhianatan  Belanda  atas  janjinya  sendiri  bahwa
                penyelesaian  konflik  RI-Belanda  akan  diselesaikan  dengan  cara  damai
                (diplomasi).  Selanjutnya,  BFO  memainkan  peranan-peranan  kunci,
                diantaranya menggalang  solidaritas nasional  dan  memberi wadah bagi
                elit politik waktu itu untuk ikut berjuang di bidang  diplomasi,




                                                                                 123
   130   131   132   133   134   135   136   137   138   139   140