Page 136 - PENGAYAAN MATERI SEJARAH
P. 136
Pengayaan Materi Sejarah
memberikan sumbangsih pada pembebasan Soekarno-Hatta dari
tawanan Belanda setelah Agresi Militer Belanda Kedua, dan
pengembalian RI pada kekuasaannya di Yogyakarta serta dibukanya
jalan menuju Konferensi Inter Indonesia dan Konferensi Meja Bundar
(KMB) yang akhirnya membawa bangsa Indonesia ke kemerdekaan dan
kedaulatan penuh.
Dinamika diplomasi dimulai dengan munculnya konsep
federalisme dalam perundingan Belanda dan RI dengan tokoh-tokoh
utamanya yakni Van Mook dan Sutan Sjahrir. Sekalipun secara formal
federalisme telah diterima oleh Belanda maupun RI dalam perjanjian
Linggajati pada 1946, namun perwujudannya memerlukan perjuangan
yang cukup panjang. Selanjutnya perbedaan pandangan Belanda dan
Indonesia terhadap Federalisme pun tidak terhindarkan, hal ini tidak
terlepas dari rumusan azas federalisme yang disodorkan kepada pihak
Indonesia tidak dijabarkan secara rinci. Walaupun demikian, Pasal 2
dalam perundingan Linggajati yang menetapkan secara jelas tentang
tatanan politik yang akan dibangun bersama itu adalah suatu negara
berbentuk federal, menjadi landasan utama yang menentukan
perundingan-perundingan selanjutnya antara Belanda dan RI hingga
tercapainya perdamaian melalui Konperensi Meja Bundar (KMB) pada
1949.
2.1.4. Munculnya Konsep Federalisme Dalam Perundingan Belanda
dan RI
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945
menimbulkan keberatan-keberatan di Negeri Belanda. Dalam hal ini,
Belanda tidak bersedia mengakui RI dan terutama akan berusaha
membangun kembali kekuasaannya, yakni pemulihan kolonialisme.
Seperti, A.W.L. Tjarda Van Starkenborgh Stachouwer yang diangkat
sebagai gubernur jenderal pada 1936, berpendapat bahwa
kebijaksanaan kenegaraan harus bersambung kepada keadaan di masa
lalu. Perubahan-perubahan hanya dapat dijalankan dengan berangsur-
angsur secara berhati-hati, dengan pendapat Belanda bersifat lebih
menentukan. Ia selanjutnya menentang bertambahnya pengaruh
Indonesia di dalam pemerintahan negara. Ia melawan pemakaian istilah
“orang Indonesia” (Indonesier) dan terutama menentang diadakannya
pembicaraan-pembicaraan politik dengan para pemuka Indonesia.
124