Page 502 - PENGAYAAN MATERI SEJARAH
P. 502
Pengayaan Materi Sejarah
tersebut adalah berorientasi pada industri subsitusi import (import
substitution industry).
Perbedaan strategi pembangunan di atas mengakibatkan
terjadinya tarik-menarik dalam mempengaruhi kebijakan pembangunan
ekonomi Indonesia. Sebagai contoh, ialah di saat terdapat dana
berlimpah hasil boom minyak, hal tersebut meningkatkan peran
teknolog secara signifikan. Industri-industri strategis semakin tumbuh
dan dibarengi oleh kebijakan proteksi yang melingkupi industri strategis
tersebut. Namun ketika terjadi resesi ekonomi, turunnya kurs rupiah,
merosotnya iklim usaha, dan anjloknya harga minyak bumi, hal tersebut
telah mengembalikan peran ekonom untuk menyehatkan kembali
perekonomian nasional. Maka keluarlah berbagai instrumen kebijakan
yang mengarah pada deregulasi dan debirokratisasi. Harapannya adalah
menaikkan ekspor non-migas dan meningkatkan sektor perbankan agar
dapat menyediakan dana bagi pembangunan. Di sini, Presiden Soeharto
berperan sebagai penengah. Karena peran presidenlah, maka kedua
kelompok teknokrat tersebut saling mengisi.
Dengan demikian, naik turunnya peran teknokrat-teknolog
maupun teknokrat-ekonom sangat ditentukan oleh iklim ekonomi dan
kebijakan dari Presiden Soeharto sendiri. Sampai pertengahan tahun
1990-an, nampaknya peran teknokrat-teknolog menaik. Hal tersebut
dipicu oleh suatu peristiwa di tanggal 10 Agustus 1995. Pada tanggal
itu, pesawat terbang CN-250, hasil rekayasa insinyur Indonesia,
mengudara. Hari yang membanggakan. Indonesia telah memasuki era
teknologi dirgantara. Tanggal 10 Agustus pun diresmikan sebagai Hari
Teknologi Nasional. Lebih dari itu, Presiden Soeharto mencanangkan
pembuatan pesawat bermesin jet, yang direncanakan akan terbang
perdana pada tahun 2013. Suatu rencana besar yang hingga kini belum
kunjung terealisasikan.
3. Biografi Singkat Bacharuddin Jusuf Habibie
Bacharuddin Jusuf Habibie dilahirkan di Pare-pare, Gorontalo,
pada 25 Juni 1936. Di awal tahun 1950-an, keluarga Habibie yang sudah
ditinggal wafat ayahnya, pindah ke Bandung. Di kota yang berjulukan
Paris van Jawa itu, ibunyalah yang menjadi kepala keluarga dan pencari
nafkah untuk membesarkan anak-anaknya. Kota Bandung dipilih, karena
di sana tersedia sarana pendidikan yang memadai untuk
490